A Silly Fool
This is my new story! Based on some true things that happened in my life mixed with my own imaginations.
******
Aku beralih menggenggam jemarinya kuat-kuat. “Aku sangat bodoh bisa salah membedakanmu dengan kembaranmu. Maafkan aku. Maafkan aku...”
Don't ever try to copy, claim, and edit this story without my permission!
SEKALI LAGI, JANGAN COBA-COBA MENGGANDAKAN CERITA INI DALAM BENTUK APAPUN TANPA PERIZINAN DARI GUE!
Gue mulai gerah sama kejahatan dalam dunia maya seperti ini huffft...
Okay, check this out!
******
A
Silly Fool
Mungkin jika kalian
jadi aku, kalian belum tentu bisa melewati hidup ini tanpa mengacuhkan seberapa
sakitnya hati kalian. Sama sepertiku.
Hampir setiap hari aku
dan dia bertemu. Di depan pagar sekolah, di koridor gedung, atau di lapangan. Bahkan
saking jodohnya kami, di kantin pun juga sering meskipun kami tidak sekelas.
Tapi di setiap
pertemuan itu, dia seperti tidak menyadari kehadiranku.
Batinku selalu menjerit
kegirangan jika tak sengaja bertemunya. Atau aku akan menyembunyikan senyumanku
dalam geraian rambutku yang panjang. Aku merasa bahagia jika berpapasan
dengannya. Mencium aroma tubuhnya yang selalu wangi jika di dekatku atau suara
beratnya sedang berbisik-bisik dengan teman sekawannya. Aku selalu menyukai
hal-hal sederhana seperti itu.
Bagaimana cara dia
tersenyum tipis.
Atau ketika dia
bersikap diam jika upacara di lapangan.
Atau lebih jika tatapan
matanya tak sengaja bersibobrok dengan mataku.
Semua hal ini selalu
membuatku senang. Tak heran aku sering berharap lebih seperti mau berbicara
denganku meskipun hanya dengan berkata ‘Hai’ begitu?
Namun semua itu hanyalah
mimpi yang tak akan tercapai.
Dia selalu berada di
luar jangkauanku. Dia selalu berdiri dalam garis tak terlihat yang memisahkan
antara aku dan dirinya. Jika dia bertemu denganku, dia selalu membuang
wajahnya, seolah-olah aku adalah kotoran yang kebetulan melintas di hadapannya.
Hatiku sakit.
Jantungku serasa
diremas jika melihatnya begitu. Tak jarang mataku selalu terasa perih jika
mengingat perlakuan dinginnya padaku. Padahal aku menjerit senang pada awalnya.
Salahku apa? Gumamku
dalam hati.
Sampai tiba-tiba aku
mendengar berita yang mencengangkan. Dia dikabarkan dekat dengan teman dekatku
yang kebetulan sekelas dengannya. Hatiku menjerit tak rela. Tapi aku bisa apa?
Toh aku pun bukan siapa-siapanya.
Lagi-lagi aku hanya
bisa berharap gosip ini segera berakhir dengan cepat. Rasanya aku ingin sekali
mengungsi pindah dari sekolahku jika tau kalau satu sekolah dengannya hanya
membuatku sakit. Ya, dulu aku sengaja ingin mendaftar sekolah yang sama
dengannya agar bisa terus bertemu dengannya tiap hari. Apalagi ketika dia
menyatakan perasaannya padaku sebelum perpisahan SMP, membuatku semakin gencar
satu sekolah dengannya.
Namun yang terjadi
malah di luar dugaanku.
Tiba-tiba dia berubah
jauh. Sangat jauh. Sikapnya padaku tidak lagi hangat seperti dulu. Dia tidak
memberikan senyum pagi yang selalu merekah di wajahnya jika berpapasan
denganku. Dia semakin mengacuhkanku. Dia tak mau lagi menatap wajahku. Dia terlihat
seperti membenciku dan aku tak tau mengapa!
Aku sering menangis
jika pelajaran olahraga berakhir. Kenapa? Karena di jam ini lah aku selalu
bertemu dengannya. Jadwal olahraga kami yang sama membuat kami lebih sering
bertemu. Banyak kakak kelas—dari kelasnya—yang terus menggodaku jika aku sedang
berolahraga. Tapi lelaki ini diam saja. Padahal dulu sebelum kami masuk SMA,
dia selalu menolongku dari serangan lelaki genit manapun.
Tapi sepertinya semua
hal itu hanya jadi kenangan.
Jika bola yang
ditendangnya melayang jauh ke lapangan kelasku, atau lebih parah ke arahku, dia
pasti tidak mau mengambilnya. Alih-alih, dia justru menyuruh temannya untuk
mengambil bola itu dengan berbagai alasan. Entahlah aku tidak tau alasannya
tapi yang jelas dia pasti ‘menghindariku’.
Aku kecewa. Kemana lelaki
yang sudah 10 tahun aku kenal baik ini? Apa dia sudah benar-benar pergi dan tak
mau kembali?
Aku menyeka air mata yang
entah sudah keberapa ratus kalinya aku menangis karena hal yang sama. Sambil merapihkan
seragam olahragaku, aku keluar toilet wanita lalu mengangkat kepala.
Tiba-tiba dunia terasa
berputar. Air mata yang tadi sudah mengering, kembali turun kembali. Aku melihat
pemandangan tak senonoh ini dan langsung membuang muka. Batinku semakin
berkecamuk ribut, memporak-porandakan hatiku agar semakin hancur.
Aku melihat dia sedang
berciuman—dengan siapa aku tidak tau—di samping gazebo sekolah. Letak toilet
yang berada di belakang sekolah tepat di depan gazebo ini, sehingga aku bisa
melihat pemandangan ‘menjijikkan’ ini dengan jelas. Membuatku jengah setengah
mati.
Aku segera berlari
menjauh dari sini sejauh mungkin. Seraya berusaha melupakan kejadian tadi.
***
Aku mendengar kabar
kalau dia sakit. Sempat aku mendengar bisik-bisik kakak kelas yang sedang
membicarakannya, kenapa dia tidak masuk sekolah hari ini. Aku hanya menyimak
sembari menunggu pesanan batagorku, meskipun aku tidak ingin terlihat sedang
menguping pembicaraan orang lain.
Pantas saja aku tidak
melihatnya seharian ini. Sudah kubilang kan? Hampir tiap hari aku bertemu
dengannya, meskipun kami tidak berpapasan. Entah aku bertemu ketika pulang
sekolah atau berangkat sekolah. Ketika kami di kantin atau di koridor gedung. Kadang
aku sengaja memarkirkan motorku tepat di samping motornya agar aku bisa
bertemunya lagi jika jam pulang. Tapi apa daya, dia selalu pulang lebih dulu
atau pulang lebih telat karena sedang latihan futsal di lapangan sekolah.
Balik ke tema awal, aku
merasa khawatir. Meskipun tau aku bukan siapa-siapanya tapi aku tetap
penasaran. Bagaimana keadaannya? Apakah dia bisa sekedar membangkitkan badannya
dari ranjang? Apakah sakitnya sangat parah sampai-sampai dia tak masuk sekolah?
Padahal dia orang yang paling kuat yang aku kenal selama ini.
Tapi apakah semua rasa
penasaranku akan terbayar sesuai?
Walaupun begitu, tanpa
pikir panjang, aku sudah berdiri tepat di depan pintu pagar rumahnya. Rumah yang
selalu terlihat hangat dan mengundang siapapun untuk bertamu dengan pemilik
rumah. Tapi sayangnya ada salah satu dari mereka yang dingin seperti kristal es
batu. Membuatku menggigil saking dinginnya.
Ibunya mempersilahkan
aku masuk. Aku tersenyum memandangi setiap interior rumah yang tak berubah. Mataku
bergerak, menelusuri setiap pigura foto sampai akhirnya berhenti di satu titik.
Pigura foto yang membuat badanku bergerak tanpa sadar ke arahnya dan memegangi
tiap sudutnya dalam batin bertanya-tanya.
Jadi.... Ini kah alasan
dia menjauhiku selama ini?
Aku membuka pintu
dengan perlahan dan terpaku lurus menatap ranjang yang tepat di depanku.
Di sana ada dirinya
sedang tertidur pulas. Dengan kedua mata terpejam dan wajah damai. Tidak ada
sorot mata penuh kebencian di sana. Kerutan wajahnya tidak terlihat sedikitpun,
dia terlihat sangat rileks saat ini.
Aku tidak tau mengapa
air mata sialan ini turun lagi. Aku sangat lelah menangis tapi mataku tidak
bisa diajak kompromi. Aku benci mengakui jika aku sangat mencintai lelaki ini
tapi tidak pernah membalas ucapannya saat itu. Padahal aku mencintainya dari
dulu, sekarang, dan seterusnya.
“Maafkan aku,” Tanganku
bergerak menyusuri pipi kirinya yang terasa panas. Dia benar-benar sakit.
Aku beralih menggenggam jemarinya kuat-kuat. “Aku sangat bodoh bisa salah membedakanmu dengan kembaranmu. Maafkan aku. Maafkan aku...”
Aku terisak pelan. Menyesali
semua perbuatanku.
Ya, lelaki ini punya
kembaran.
Dan aku mencium
kembarannya tepat di depannya saat perayaan ulang tahun mereka.
***********
0 comments